Diposkan pada Sirah

SIRAH MUHAMMAD SAW (1)

Muhammad Rasulullah: Sejak kelahiran hingga pernikahan

 

Muhammad bin Abdullah. Laki-laki agung pengukir sejarah ini memang tiada bandingannya. Liku-liku hidupnya adalah ta’dib Rabbani yang sarat dengan pelajaran. Ia adalah manusia yang dipersiapkan Rabb semesta alam untuk memangku tugas agung nan mulia. Membawa risalah tauhid yang murni; Mengesakan Allah secara mutlak!

Ajaran revolusionernya mengguncang kejumudan pemikiran bangsa Arab saat itu: Dengan bimbingan wahyu dia nyatakan bahwa manusia bukan budak atau hamba dari sesuatu apa pun yang ada di  langit atau di bumi; segala yang ada di langit dan di bumi adalah makhluk, semuanya rendah di hadapan Allah azza wa jalla; antara manusia dan Allah tidak ada fihak ketiga, setiap manusia berhak berhubungan langsung  dengan Tuhannya tanpa perantara; manusia berhak dan harus menolak seseorang atau sesuatu yang mengangkat dirinya atau diangkat orang lain sebagai perantara dalam penghambaan.

Laki-laki pemimpin orang-orang bertaqwa ini menyeru manusia untuk mengimani kehidupan akhirat; ia ingatkan berulang-ulang akan tibanya masa dimana manusia harus mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya di hadapan Allah ta’ala.

Ia mengajar manusia melakukan pembersihan jiwa dengan menjalankan ibadah yang telah ditetapkan Allah ta’ala. Ia datang untuk memelihara dan membina kehidupan masyarakat Islam.

Melalui bimbingan wahyu ia tanamkan nilai-nilai agung bahwa masyarakat Islam adalah satu kesatuan yang bulat berdasarkan ukhuwah Islamiyah. Hal itu diimplementasikan diantaranya dalam bentuk membela orang yang teraniaya, menolong orang yang sengsara dan memperkuat orang yang lemah tidak berdaya.

 

Keturunan orang-orang pilihan

Muhammad SAW adalah keturunan orang-orang pilihan. Biarlah ia sendiri yang memperkenalkan dirinya, “Aku Muhammad bin Abdullah bin abdul Muthalib. Sesungguhnya Allah telah menciptakan makhluk, dan dia telah menjadikan aku dalam sebaik-baik bagian mereka; kemudian Dia menjadikan mereka dua bagian, dan Dia menjadikan aku dalam sebaik-baik bagian mereka; kemudian Dia menjadikan mereka beberapa kabilah, dan Dia menjadikan aku dalam sebaik-baik kabilah mereka; kemudian Dia menjadikan mereka beberapa keluarga, maka Dia menjadikan aku dalam sebaik-baik keluarga mereka dan sebaik-baik diri di antara mereka” (HR. Turmuzi dari Abbas bin Abdul Muthalib r.a.)

Mengenai jalur keturunannya yang mulia ini, ia pun berkata,“Sesungguhnya Allah telah memilih Ismail menjadi anak Ibrahim dan Dia telah memilih keturunan Kinanah menjadi keturunan Ismail dan Dia telah memilih Quraisy dari keturunan Kinanah dan Dia telah memilih Hasyim dari Quraisy, dan Dia telah memilih aku dari keturunan Hasyim.”  (HR. Turmuzi dari Watsilah bin al-Asqa r.a.)

Ayah Nabi Muhammad bernama Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim;  ibundanya adalah Aminah binti Wahbin bin Abdu manaf bin Zuhrah.

 

Lintasan peristiwa

Sebagaimana sudah disebutkan di awal, liku-liku kehidupan Muhammad itu—khususnya sejak menjelang kelahiran hingga menjelang kenabiannya—sarat dengan ta’dib Rabbani. Hal ini mengandung pelajaran yang sangat berharga, terutama bagi para aktivis dakwah. Di dalamnya terdapat implikasi teori dakwah dan tarbiyah yang sarat makna.

Mari kita telusuri sebagian peristiwa-peristiwa penting dalam episode kehidupan Muhammad SAW sejak menjelang kelahirannya sampai menjelang kenabiannya secara ringkas.

Ketika usia 3 bulan dalam kandungan, Abdulah ayahnya wafat di Yatstrib (Madinah) dalam perjalan pulang dari Syam. Ya, ia lahir dalam keadaan yatim, pada hari Senin, 9 Rabiul Awwal tahun Fil atau bertepatan dengan 20 April 571 M di Kampung Bani Hasyim.[1] Sampai berumur 4 atau 5 tahun ia tinggal di dusun Bani Sa’ad. Pada masa inilah terjadi peristiwa pembelahan dada. Pada saat itu Nabi segera dikembalikan kepada Aminah. Saat berusia 6 tahun ia pergi bersama ibunya ke Madinah dan tinggal selama sebulan di dusun Bani Najjar. Sepulang dari sana ditengah jalan di daerah Abwaa’, Aminah jatuh sakit dan kemudian wafat. Muhammad kemudian dipelihara beberapa saat oleh Ummu Aiman (budak peninggalan ayah bundanya).

Setelah yatim piatu,  ia dipelihara oleh kakeknya, Abdul Mutahalib. Tapi saat beliau berusia 8 tahun, Abdul Muthalib wafat dalam usia 80 tahun. Selanjutnya Muhammad SAW dipelihara oleh Abdu Manaf (Abu Thalib). Saat berusia 12 tahun (538 M) ia pergi berdagang bersama pamannya ke Syam. Berkaitan dengan perjalan ini ada riwayat-riwayat tentang pertemuannya dengan pendeta Bukhaira, tapi riwayat-riwayat ini tidak dapat dipertanggungjawabkan walaupun tercantum dalam Sirah Ibnu Hisyam dan Syekh Al-Halabi.

Saat berusia 15 – 20 tahun, ia mengikuti perang Fijar, yakni perang antara keturunan Kinanah dengan Quraisy, disebabkan adanya pelanggaran Kinanah terhadap undang-undang yang berlaku saat itu. Pada saat berumur 20 tahun, ia menjadi anggota Hilful Fudhul, sebuah perkumpulan yang bertugas menjaga keamanan dan memberikan perlindungan kepada orang yang dizalimi.

Untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup, Muhammad pernah menjadi penggembala. Dan saat berusia 24 tahun ia kembali berdagang ke Syam membawa dagangan Khadijah binti Khuwailid. Dan saat berusia 25 tahun ia akhirnya menikah dengan Khadijah.

 

Hikmah:

            Secara umum hikmah atau pelajaran penting yang dapat kita ambil dari lintasan peristiwa tadi adalah tentang kehendak Allah SWT mendidik calon nabi-Nya secara langsung. Dia siapkan skenario, kurikulum, atau satuan-satuan pengalaman hidup terbaik sebagai persiapan bagi Muhammad sang calon Nabi dalam menghadapi beratnya perjuangan mengemban risalah Ilahi.

 

Strata sosial dan kemaslahatan dakwah

Untuk risalah terakhir ini, Allah SWT benar-benar telah memilih dengan cermat siapa orang yang paling tepat memikulnya—sungguh Dia Maha Agung dan Maha Mengetahui.

Dia memilih Muhammad SAW yang dilahirkan dari kalangan bangsawan terpandang. Ditinjau secara sosiologis, pilihan seperti ini sangatlah tepat. Karena bangsa Arab saat itu berada dalam sistem sosial yang sangat dipengaruhi oleh fanatisme kesukuan dan kebanggaan akan garis keturunan.

Dalam kondisi semacam itu, memiliki jalur keturunan bangsawan tentu menjadi modal tersendiri. Ia menjadi salah satu sarana penunjang dalam melakukan manuver, lobi-lobi dan pendekatan dakwah kepada para tokoh dan masyarakat.

Hal ini menjadi pelajaran penting bagi kaum pergerakan Islam, bahwa di dalam struktur dakwah diperlukan munculnya orang-orang—terutama di level qiyadah—yang memiliki strata sosial terpandang di masyarakat. Dalam konteks kita saat ini, perlu kiranya dilakukan rekayasa positif—sosial maupun politik—untuk memunculkan orang-orang yang memiliki strata sosial terpandang di masyarakat demi kemaslahatan dakwah. Walaupun sangat mungkin Allah SWT memunculkan orang-orang seperti itu secara alami dan tiba-tiba untuk kita. 

 

Tarbiyah Ilahiyah

Secara berturut-turut beliau ditinggal wafat oleh orang-orang yang dekat dengannya, ayahnya Abdullah bin Abdul Muthalib wafat sebelum ia lahir. Disusul ibundanya, kemudian kakeknya.

Allah SWT menghendaki Muhammad langsung berada dalam didikan-Nya. Dengan skenario, kurikulum, dan satuan-satuan pengalaman menurut kehendak-Nya:

 

  1. Nabi pernah tinggal di dusun Bani Sa’ad yang seolah-olah menjadi ‘Sekolah Alam’ bagi Nabi SAW. Disini beliau dididik dalam kefasihan berbahasa dan pergaulan yang bersih.

 

  1. Pengalaman perjalanan Nabi bersama pamannya Abu Thalib menjadi salah satu bentuk tarbiyyah rabbani, dalam perjalan ini Nabi mulai melihat dan mengenal dunia luar. Selain itu, pengalaman dagang ke Syam secara tidak langsung menjadi sarana pengembangan keterampilan komunikasi massa, selain juga menjadi sarana pengenalan Nabi pada tradisi dan norma masyarakat lain.

 

  1. Keterlibatan Nabi dalam Perang Al-Fijar, merupakan tarbiyah askariyah dari Allah SWT untuk menyiapkan beliau yang suatu saat akan menjadi nabi dan akan terlibat dalam berbagai macam pertempuran membela agama Allah.

 

  1. Keanggotaan Nabi dalam Hilful Fudhul, merupakan tarbiyah dari Allah agar Nabi menjadi pribadi yang memiliki perhatian pada masalah kemasyarakatan (politik dan sosial).

 

  1. Pengalaman Nabi menjadi penggembala sebagaimana Nabi-nabi terdahulu, menjadi sarana pembinaan jiwa kepemimpinan. Allah berkehendak mendidiknya menjadi pribadi yang sabar, ulet, pengayom, penuh kasih sayang, sekaligus tegas, penuh wibawa, dan bersahaja.

 

Hal ini pun menjadi pelajaran berharga bagi para aktivis gerakan Islam, bahwa bergulirnya proyek ishlah wa taghyir dalam rangka menggapai cita-cita menjadi ustadziyatul ’alam, harus diawali dengan pengokohan fondasi dan penyiapan perbekalan yang cukup. Fondasi dan perbekalan tersebut adalah ilmu dan pemahaman yang benar.

Dari uraian di atas dapat kita ambil implikasi teoritis bahwa dalam aktivitasnya para pengemban dakwah hendaknya memperhatikan hal-hal berikut:

 

  1. Ide, norma, dan nilai-nilai yang diwariskan kepada umat—khususnya generasi penerus perjuangan—haruslah murni berlandaskan bimbingan wahyu; bukan falsafah, budaya, atau adat kebiasaan nenek moyang yang berdasarkan waham semata.
  2. Dalam proses pembinaan kader dakwah, hendaknya jangan melupakan metode learning by doing, praktek lapangan, penugasan kerja/amaliyah langsung, dan sejenisnya. Menurut saya, gabungan antara ’teori-teori’ dan ’pengalaman’ akan lebih mampu mengendapkan nilai-nilai yang ingin ditanamkan.
  3. Madah pembinaan bagi kader dakwah, selain memprioritaskan penanaman nilai aqidah, syariah, dan akhlak; hendaknya juga tidak mengabaikan wawasan ekonomi, sosial, politik, dan budaya manusia. Bahkan kemiliteran dan kekuatan fisik pun harus diperhatikan sebagai bentuk persiapan jihad membela agama Allah.

 

Sedangkan pernikahan dengan Khadijah adalah taqdir Allah yang bisa jadi dimaksudkan agar nabi memiliki pendukung dakwah yang kuat, terutama dalam hal kebangsawanan dan kekuatan finansial.

 

Wallahu A’lam 

 


[1] Pendapat yang masyhur waktu kelahiran Nabi adalah tanggal 12 rabiul Awwal, akan tetapi menurut perhitungan ahli falak yakni Muhammad Fasya Al-Falaky yang paling tepat adalah beliau lahir tanggal 9 Rabiul Awwal.

 

Tinggalkan komentar