Diposkan pada Dakwah

SEJARAH KEHIDUPAN HASAN AL-BANNA

hasan-al-banna

Hasan Al-Banna dilahirkan di kota Mahmudiyah, Distrik Bahirah Mesir pada bulan Oktober 1906 M. Orangtua beliau adalah seorang ulama besar pada masanya, yaitu Syaikh Ahmad Abdur Rahman Al-Banna, yang banyak berkarya di bidang ulumul…

hadits. Diantara karyanya yang terkenal adalah kitab “Al Fath Ar Rabbany li Tartib Musnad Al-Imam Ahmad”. Disamping menulis kitab-kitab hadits, beliau juga bekerja memperbaiki jam.

Sejak dini Hasan Al-Banna sudah ditempa oleh keluarganya yang taat beragama untuk meraih dan memperdalam ilmu di berbagai tempat dan majelis ilmu. Pertama kali beliau menggali ilmu di Madrasah Ar Rasyad, kemudian melanjutkan di Madrasah ‘Idadiyah di kota Mahmudiyah tempat beliau dilahirkan.

Pada usianya yang masih muda, Hasan Al-Banna sudah memiliki perhatian yang besar terhadap persoalan da’wah. Ia pun mampu beraktifitas untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Bersama teman-temannya di sekolah, dibentuklah perkumpulan “Akhlaq Adabiyah” dan “Al-Man’il Muharramat”. Nampaknya sejak muda ia memang menginginkan da’wah Islamiyah tegak dan kokoh.

Pada tahun 1920 Hasan Al-Banna melanjutkan pendidikannya di Darul Mu’allimin Damanhur, hingga menyelesaikan hafalan Qur’an diusianya yang belum genap 14 tahun. Beliaupun aktif dalam pergerakan melawan penjajah.

Pada tahun 1923 ia melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum Kairo. Disinilah ia banyak mendapatkan wawasan yang luas dan mendalam. Pendidikannya di Darul Ulum diselesaikan pada tahun 1927 M, dengan hasil yang memuaskan, menduduki rangking pertama di Darul Ulum dan rangking kelima di seluruh Mesir dalam usianya yang baru menginjak 21 tahun.

Semenjak di Darul Ulum Kairo, Hasan Al-Banna mendapatkan cakrawala berfikir lebih luas dan wawasan yang mendalam dan semakin giat dalam amal islami, bersama kawan-kawannya ia melaksanakan da’wah di berbagai tempat, baik di perkumpulan-perkumpulan, kedai kopi ataupun di klab-klab.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Darul Ulum Kairo, ia bekerja sebagai guru Ibtidaiyah (setingkat SD) di Ismailiyah meskipun mendapatkan penawaran untuk melanjutkan pendidikan, namun beliau lebih menyenangi menjadi guru di Ismailiyah hingga 19 tahun beliau berkhidmat mengajar disana.

Hasan Al-Banna menikah dengan putri salah seorang tokoh Ismailiyah Al Haj Husain As Shuly pada malam 27 Ramadhan 1351 H. Ia kemudian dikaruniai 5 ornag anak, 4 orang anak perempuan yaitu Wafa’, Sinai, Raja dan Hajar. Adapun anak lelaki beliau adalah Ahmad Saiful Islam. Hasan Al-Banna memberikan perhatian yang besar pada pendidikan keluarganya dengan adab dan akhlaq Islam. Hasil perhatiannya terhadap keluarga dapat kita lihat pada anak beliau yang sangat dihormati Ahmad Saiful Islam.

Hal-hal yang mendasari berdirinya da’wah.

Perpindahan Al Banna dari tempat kelahirannya Mahmudiyah ke Damanhur kemudian ke Kairo membuatnya banyak mengetahui permasalahan situasi dan kondisi umat Islam.

Dimasa beliau tinggal di Mahmudiyah, daerah yang tenang dan menjaga tradisi Islam dan ajarannya, belum terlintas di benaknya bahwa di ibukota Mesir, Kairo, banyak terjadi penyimpangan dan kerusakan yang menurutnya sangat parah. Belum pernah terbayangkan olehnya bahwa para penulis terkemuka, ulama dan para pakar ada yang bekerja demi kepentingan musuh Islam. Ulama sibuk dengan urusan pribadi dan masyarakat umum dalam keadaan bodoh.

Surat kabar, majalah dan sarana informasi lainnya banyak memuat dan menyebarkan pemikiran yang bertentangan dengan ajaran Islam dan pornografi. Ia pun melihat kemungkaran di mimbar politik, masing-masing partai hanya mementingkan golongannya dan cenderung menjadi ajang permusuhan dan perpecahan ummat.

Masyarakat cenderung tergiring menjauhi nilai-nilai luhur, merasa asing dengan nilai-nilai Islam. Begitupun di Perguruan Tinggi yang tadinya disiapkan untuk menjadi lampu penerang, pusat kebangkitan dan mimbar peradaban, malah menjadi sumber malapetaka, pusat kerusakan dan alat penghancur sehingga banyak orang memahami bahwa Perguruan Tinggi dan Universitas adalah tempat revolusi perlawanan terhadap akhlaq, menentang agama dan memusuhi tradisi yang baik.

Kondisi muslimin di luar Mesir pun sangat mengelisahkannya. Turki yang tadinya menjadi pusat Khilafah Islamiyah, pada tahun 1924 M sudah berubah menjadi negara sekuler. Selain Mesir, negeri-negeri Islam di seluruh penjuru bumi saat ini kebanyakan dalam keadaan terjajah, walhasil perekonomian ummat Islam pun dikuasai oleh orang-orang asing kaum penjajah.

Semua itu disaksikan oleh Hasan Al-Banna, sementara kondisi dan situasi semakin memburuk sehingga menyusahkannya dan ia menjadi gelisah. Sampai beliau tidak dapat tidur selama 15 hari di bulan Ramadhan. Akan tetapi ia tidak putus asa, tidak menyerah bahkan semakin bersemangat dan bertekad untuk berbuat sesuatu agar bisa mengembalikan Khilafah Islamiyah, mengusir penjajah dan mengangkat martabat. Dengan kesungguhan, kerja yang tak mengenal lelah dan gerakan yang berkesinambungan, ia yakin cita-cita luhur itu dapat tercapai.

Hasan Al-Banna mulai melakukan aktifitasnya dengan menghubungi para pemimpin, tokoh masyarakat dan para ulama. Ia ajak mereka untuk membendung arus kerusakan itu. Ia mendatangi Syeik Ad Dajawi salah seorang ulama Mesir terkemuka, lalu dijelaskannya permasalahan umat kepada Syeikh tersebut. Namun Syeikh ternyata hanya memperlihatkan keprihatinannya saja, menurutnya tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan saat ini dengan alasan bahwa Mesir sedang dijajah Inggris yang memiliki kekuatan dan persenjataan yang dapat menghadapi gerakan apapun yang menentangnya.

Hasan Al Banna tidak ridho dan tidak puas dengan jawaban Ad Dajawi itu dan membuatnya nyaris lemah semangat. Kemudian Syeikh Ad Dajawi mengajaknya berziarah ke rumah Syeikh Muhammad Saad yang merupakan salah satu ulama terkemuka juga, disana banyak yang hadir selain Syeikh Ad Dajawi, Syeikh Muhammad Saad dan Hasan Al-Banna. Kemudian Al Banna menjelaskan lagi permasalahan ummat namun Syeikh Ad Dajawi memintanya untuk berfikir, tapi Hasan Al Banna seorang pemuda yang bersemangat tinggi berpendapat waktu itu bukan saatnya untuk berfikir tapi untuk berbuat.

Syeikh Muhammad Saad pada waktu itu menjamu para tamunya dengan kue-kue khas yang dibuat untuk bulan Ramadhan. Para tamu asyik menikmati makan dan minuman yang disuguhkan. Pemandangan ini membuat Hasan Al-Banna semakin bersedih dan prihatin. Ia memahami bahwa mereka dalam keadaan lalai dari kondisi Islam, maka ia berusaha menyadarkan mereka seraya berkata : “Wahai Syeikh! Islam sedang diperangi dengan dahsyat, sementara para tokoh, pelindung dan para pemimpin ummat sedang menghabiskan waktunya dengan kenikmatan seperti ini, apakah kalian mengira bahwa Allah tidak akan menghisab apa yang kalian sedang lakukan? Jika kalian tahu disana ada pemimpin Islam dan pelindungnya selain kalian, tunjukilah saya kepada mereka agar saya mendatangi mereka, mudah-mudahan saya dapati apa yang tidak ada pada kalian”.

Perkataan Hasan Al-Banna menyentuh hati Syeikh Muhammad Saad, sehingga membuatnya menangis, hadirin yang lainpun turut menangis. Lalu Syeikh bertanya : “Apa yang mesti saya lakukan wahai Hasan …?”

Hasan Al-Banna kemudian mengusulkan agar Syeikh mengumpulkan nama-nama para ulama dan zuama serta para pemuka, lalu mereka diundang untuk suatu pertemuan dalam rangka memikirkan dan memusyawarahkan apa-apa saja yang harus mereka lakukan. Sekalipun hanya menerbitkan majalah mingguan untuk mengimbangi majalah-majalah yang ada atau membentuk perkumpulan yang dapat menampung para pemuda.

Syeikh setuju atas usulan Hasan Al-Banna itu dan ia mencatat sebagian nama ulama terkemuka seperti : Syeikh Yusuf Ad Dajawi, Syeikh Muhammad Khudlori Husain, Syeikh Abdul Aziz Jawis, Syeikh Abdul Wahab Najjar, Syeikh Muhammad Khudlori, Syeikh Muhammad Ahmad Ibrahim, Syeikh Abdul Aziz Khuli, dan Syeikh Muhammad Rasyid Ridho.

Sementara dari kalangan tokoh terkemuka, seperti : Ahmad Taimur Pasya, Nasim Pasya, Abu Bakar Yahya Pasya, Abdul Aziz Muhammad Pasya, Mutawalli Ghonim Bik, dan Abdul Hamid Said Bik.

Mereka semua diundang untuk suatu pertemuan dan terlaksanalah pertemuan demi pertemuan, sehingga dapat menerbitkan majalah “Al-Fath” yang dipimpin oleh As-Sayid Muhibuddin Khattib dengan pimpinan redaksinya Syeikh Abdul Baki Surur. Perkumpulan dan kegiatan ini terus berlangsung sampai Hasan Al Banna lulus kuliah dari Darul Ulum dan terus menggerakkan beberapa orang pemuda sehingga terbentuklah Jam’iyyah Syubanul Muslimin.

Hasan Al Banna juga berhasil mengumpulkan beberapa ulama dan tokoh masyarakat terkemuka, dan terbentuklah Jama’ah Islamiyah yang menyeru untuk menghadapi arus gelombang kehidupan materialis, membatasi kegiatan maksiat dan kekufuran.

Akan tetapi Hasan Al Banna melihat aktifitas jama’ah itu tidak cukup, dimana kegiatannya terbatas pada menyampaikan ceramah atau nasehat di masjid-masjid dan menulis artikel di majalah-majalah, akan tetapi siapa yang menyampaikan da’wah kepada orang-orang yang tidak ke masjid yang sebenarnya mereka lebih berhak dari pada orang-orang yang aktif ke masjid. Siapa yang menyampaikan da’wah kepada orang-orang yang tidak membaca koran dan majalah. Dengan demikian harus adanya kader yang siap berda’wah ke berbagai lapisan masyarakat.

Hasan AlBanna melihat bahwa yang dapat melaksanakan tugas berat itu adalah para mahasiswa AlAzhar dan Darul Ulum. Ia kemudian mengumpulkan beberapa orang rekannya untuk berlatih berpidato, khotbah di masjid, berda’wah di warung-warung kopi dan tempat-tempat umum, kemudian pergi ke kampung-kampung. Diantara mereka yg terlibat dalam aktivitas ini adalah Syeikh Muhammad Madkur, Syeikh Hamid Askari dan Syeikh Ahmad Abdul Hamid.

Setelah mereka berlatih dan siap terjun ke lapangan, Al Banna mengajak rekan-rekannya untuk berda’wah ke warung-warung kopi dengan memperhatikan tiga hal : Memilih tema yang sesuai; Sistem penyajian yang menarik; Memperhatikan waktu dan jangan sampai membosankan.

Peristiwa berdirinya Jama’ah Al-Ikhwanul Muslimin.

Pada bulan September tahun 1927 M, Hasan Al Banna diangkat menjadi guru SD di Kota Isma’iliyah, disanalah beliau memulai da’wahnya, di warung-warung kopi kemudian pindah ke masjid. Da’wah yang dilakukannya di warung-warung kopi ini bukan pengalaman yang pertama baginya, tapi beliau sudah terbiasa da’wah di tempat-tempat seperti ini, ketika beliau masih mahasiswa di Darul Ulum, Kairo.

Da’wah Hasan Al Banna mendapat sambutan dari para pengunjung warung-warung kopi, sehingga sebagian diantara mereka bertanya kepadanya tentang apa yang harus dilakukan demi agama dan tanah air.

Setelah beberapa lama berda’wah di warung-warung kopi kemudian Hasan Al Banna pindah dari warung kopi ke mushalla (Zawiyah). Di Zawiyah inilah beliau berbicara dan mengajarkan praktek ibadah, dan meminta kepada mereka agar meninggalkan kebiasaan hidup boros bermewah-mewahan. Para pendengar menyambutnya dengan baik.

Hasan Al Banna juga memperluas interaksinya kepada seluruh unsur yang berpengaruh terhadap masyarakat, yaitu para ulama, Syaikh kelompok sufi, tokoh masyarakat (wujaha), dan berbagai perkumpulan-perkumpulan.

Pada bulan Dzul Qo’dah tahun 1347 H atau bulan Maret 1928 M, datanglah 6 orang laki-laki yang tertarik dengan da’wah Hasan Al-Banna, mereka adalah: Hafiz Abdul Hamid (tukang bangunan), Ahmad Al Hushor (tukang cukur), Fuad Ibrahim (tukang gosok pakaian), Ismail Izz (penjaga kebun), Zaki Al Maghribi (tukang rental dan bengkel sepeda), dan Abdurrahman Hasbullah (supir).

Mereka berbicara kepada Hasan Al-Banna tentang apa yang harus mereka lakukan demi agama dan mereka menawarkan sebagian harta milik mereka yang sedikit. Mereka pun meminta Hasan Al-Banna menjadi pimpinan mereka. Lalu mereka berbai’at kepadanya untuk bekerja demi Islam dan mereka bermusyawarah tentang nama perkumpulan mereka. Imam Al Banna berkata : “Kita ikhwah dalam berkhidmat untuk Islam, dengan demikian kita Al Ikhwanul Muslimin”.

Kemudian mereka menjadikan kamar di suatu rumah sewaan yang sangat sederhana sebagai “Kantor Jama’ah” dengan mengambil nama Madrosah At Tahzab. Disanalah Hasan Al-Banna mulai meletakkan manhaj tarbawi bersama pengikut-pengikutnya, manhaj tarbawi pada waktu itu adalah :

1. Al-Qur’anul Karim (tilawah dan hafalan).

2. As Sunnah An Nabawiyah (menghafal sejumlah hadits).

3. Pelatihan khutbah.

4. Pelatihan mengajar untuk umum.

Setelah beberapa bulan jumlah pengikut jama’ah menjadi 76 orang, kemudian terus bertambah.Dan mereka mendermakan harta mereka untuk da’wah sampai dapat membeli sebidang tanah untuk dibangun diatasnya markas jama’ah: Darul Ikhwanul Muslimin, terdiri dari 1 masjid, 1 sekolah untuk putra, 1 sekolah untuk putri, dan nadi (tempat pertemuan) ikhwan.

Pertumbuhan pesat da’wah ikhwan sejak awal.

Pada bulan Oktober tahun 1932 M, Hasan Al-Banna dimutasi kerja oleh Pemerintah ke Kairo sebagai guru di Madrasah Abbas I, Distrik Sabtiah. Perpindahan kerja ini menjadi peluang baginya untuk membawa da’wah ke Kairo ibukota Mesir.

Di Kairo Hasan Al Banna dan ikhwan memilih rumah di jalan Nafi No.24 sebagai Markaz Amm, dan ia tinggal bertempat di lantai atas selama 7 tahun da’wah di Kairo dari tahun 1932 sampai 1939 M.

Markaz Amm mengalami beberapa kali pindah :

1. Di jalan Nafi No.24

2. Di rumah di Suqus Silah

3. Di jalan Syamasyiji No.5

4. Di jalan Nashiriyah No.13

5. Di jalan Medan Atobah No.5 di perumahan wakaf

6. Di jalan Ahmad Bik Umar di Hilmiyah

Di Kairo disamping banyaknya partai politik yang bersaing untuk menjadi partai yang berkuasa, didapati pula banyak organisasi Islam dan non Islam.

Di tengah-tengah kehidupan Kairo, da’wah ikhwan terus meluncur membuktikan keberadaannya, efektifitasnya dan menarik banyak pengikut dan pendukungnya serta membuka syu’bah-syu’bah baru.

Da’wah di Kairo belum sampai satu tahun Hasan Al-Banna telah mampu menyebarkan da’wah di seluruh kota Kairo dan telah membuka syu’bah-syu’bah baru lebih dari 50 kabupaten, dimana Ia mendatangi perkampungan negeri Mesir untuk berda’wah tidak mengenal letih, apalagi malas, hal itu dilakukannya disaat-saat musim liburan sekolah.

Sekilas pintas pribadi Mursyid

Profesi dan pekerjaannya.

Hasan Al-Banna adalah guru SD (Ibtidaiyah), beliau disiplin melaksanakan tugasnya dengan optimal dan maksimal, Ia belum pernah terlambat datang ke sekolah (tempat kerja), karena merasakan ni’mat dan kebahagiaan dalam bekerja. Ia meyakini bahwa Allah telah menciptakannya menjadi pendidik.

Hasan Al-Banna disenangi dan dihormati oleh murid-murid, para guru, kepala sekolah dan karyawan. Mereka pun mencintai da’wah Al Banna. Mereka berkeinginan membantunya, agar mempunyai banyak waktu untuk mengemban tugas da’wah, akan tetapi beliau bersikeras melaksanakan tugasnya dengan sempurna tanpa membebani orang lain.

Bila ada ikhwan yang menelponnya ketika dia sedang mengajar di kelas, kemudian petugas memberitahukannya ada orang yang menelponnya, lalu ia berpesan kepada petugas tersebut : “Katakan kepadanya, saya sedang mengajar dan tidak dapat meninggalkan kelas sebelum selesai jam pelajaran”.

Tugas Rumah.

Hasan Al Banna melaksanakan tugasnya di rumah sebagai kepala keluarga, suami, ayah dengan baik, tidak pernah terjadi pertengkaran dalam rumahnya. Ia memberikan perhatian yang penuh kepada anak-anaknya, juga membantu pekerjaan istrinya di rumah sekalipun dengan kesibukan da’wahnya. Ia mengetahui kebutuhan rumah, dan tiap hari mencatat kebutuhan rumah tangga, sehingga ia mengetahui kapan disimpan barang seperti bawang, minyak dan lain-lain.

Aktifitas Da’wah.

Da’wah bagi Hasan Al Banna menjadi alasan hidupnya, dan semua kehidupannya da’wah, siang dan malam kesibukannya adalah da’wah. Da’wah memenuhi hati dan pikirannya, sehingga da’wah terlihat jelas pada pribadinya, bila berbicara, berbicara dengan da’wah dan untuk da’wah. Dan bila diam, diamnya da’wah, bila bergerak demi da’wah, cinta dan bencinya karena da’wah dan bila tertawa atau menangis karena da’wah.

Hasan Al Banna tidak hidup untuk dirinya sendiri, tidak menyimpan uang, tenaga waktu dan kesehatannya kecuali untuk da’wah, semua gajinya dijadikan untuk da’wah, tidak dikurangi kecuali untuk kepentingan keluarga yang pokok, Ia mengambil standar minimal/terendah untuk hidupnya. Hasan Al Banna menjadikan hidupnya untuk da’wah, ucapan, diam, gerak, bangun, tidur, suka, benci, tulisan, bacaan, pikirannya semua untuk Islam.

Ranjau-Ranjau Sepanjang Perjalanan Da’wah Imam Hasan Al-Banna.

Ketika dua aktifis Ikhwan di Thontho, Muhammad Abdussalam dan Jamaluddin Fakih dituduh oleh rezim sebagai pelopor gerakan subversib dan ini adalah awal mihnah yang menimpa jamaah maka Hasan Al-Banna segera mengadakan lobi dengan lembaga bantuan hukum untuk mengadakan pembelaan secara maksimal dan mengerahkan seluruh ikhwan agar memiliki perhatian serta mengikuti persidangan-persidangan yang berlangsung bahkan Ia sendiripun selalu mengikuti persidangan-persidangan yang berlangsung dan sekaligus membantah tuduhan yang ditujukan kepada dua aktifis maupun kepada jamaah dengan lewat mass media internal maupun external.

Dengan upaya yang maksimal dan dukungan seluruh fihak akhirnya kedua aktifis dinyatakan bersih dari tuduhan. Keprihatinan Hasan Al Banna terhadap peristiwa itu terungkap: “Sesungguhnya masalah ini membikin aku gelisah untuk tidur, karena aku tahu bahwa hal ini benar-benar telah dipersiapkan secara matang, mereka memiliki dan menguasai seluruh perangkatnya, mulai dari birokrasi, hakim, hingga saksi-saksi palsu dan apabila mereka berhasil meringkus kedua aktifis kita kedalam penjara dengan tuduhan subversif, maka da’wah al ikhwan akan punah dimata masyarakat”.

Memang Hasan Al Banna mengajarkan kepada Al-Ikhwan untuk menjadi generasi yang pemberani dalam kebenaran, menganggap para penjajah adalah musuh dan bentuk perbudakan yang paling buruk sepanjang sejarah manusia, mereka begitu semangat dan berebut untuk mendapatkan izin menuju Palestina untuk meraih syahadah ketika DK PBB pada tahun 1948 secara resmi membagi tanah Palestina menjadi dua. Hasan Al-Banna sendiri dalam pidatonya dimuka khalayak ramai di hotel intercontinental mengatakan, “Pembagian Palestina menjadi dua adalah tanda bahwa dunia telah tidak waras”. Hal serupa juga pernah disampaikan kepada pemerintah Inggris lewat perwakilannya di Kairo tahun 1939 M, bahwa ummat Islam akan mempertahankan Palestina hingga titik darah terakhir.

Hasan Al-Banna juga seorang yang lembut hati, hidupnya hanya untuk perhatian da’wah dan para ikhwannya, ketika seorang akhwat menderita sakit, beliau sendiri menghubungi dokter dan ketika sang dokter sedang menulis resep obat lalu beliau mencolek kepada Mahmud Abdul Halim untuk meminjam uang untuk menebus obat karena tak sepeser junaihpun ada ditangannya.

Perlawanan para ikhwan menghadapi penjajah Inggris atas intervensinya terhadap kota Isma’iliyah awal perang dunia kedua 1939 M merupakan bukti keberanian mereka. Melihat keberhasilan Hasan Al Banna dengan jamaahnya yang cukup gemilang, dimana pada waktu yang relatif singkat fikroh ikhwan telah mampu mempengaruhi dan mewarnai di berbagai bidang ekonomi, sosial politik dan keagamaan, khususnya sikap masyarakat luas terhadap Palestina dan penjajah, maka Inggrispun sangat gerah terhadap Hasan Al Banna dan sangat berkepentingan untuk membunuhnya dan membubarkan jamaahnya.

Untuk merealisasikan mimpi Inggris itu pada tanggal 10 Nopember 1948 M tiga segitiga setan mengadakan pertemuan secara rahasia, mereka adalah Inggris, Amerika dan Perancis di Paid, memutuskan agar Al-Ikhwan Al-Muslimun segera dibubarkan. Sebulan kemudian tepat pada tanggal 8 Desember 1948 datang SK militer yang berisikan pembubaran terhadap jamaah.

Rupanya pembubaran jamaah tidak berdampak terhadap aktifitas dan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat, justru pembelaan dari masyarakat luas semakin kentara dari hari ke hari, kewibawaan dan kemampuan Hasan Al Banna merekrut masyarakat luas sangat diakui lawannya, kemampuan membangkitkan semangat ummat, membuka hati yang tertutup, menghimpun kekuatan arus bawah sangat ditakuti lawan. Maka tidak ada lagi pilihan lain, kecuali harus merencanakan sebuah makar yang lebih besar yang belum pernah terpikir di benak mereka yaitu dengan membunuh pendirinya.

Sejak itu rezim Faruq benar-benar memperhitungkan langkah untuk menguasai Hasan Al Banna :

1. Dengan memenjarakan seluruh anggota Al-Ikhwan dan membiarkan Hasan Al Banna seorang diri agar masyarakat luas menganggap bahwa rezim masih memiliki rasa tolerir terhadapnya, padahal itu sebuah siksaan batin, setiap harinya hanya tangisan ribuan anak kecil dan rintihan ibu-ibu yang didengarnya, menengok kanan dan kiri tidak ada yang peduli seakan-akan seluruh rakyat telah diintimidasi oleh rezim, takut untuk melakukan sebuah kebaikan, siapa bersedekah akan mati, siapa menolong orang yang kelaparan dianggap pemberontak. Hasan Al-Banna hanya mampu mengumpulkan sebesar 150 junaih Mesir (+ $.140) setelah upaya sana sini dan itupun hasil hutang dari salah seorang teman.

2. Setelah perasaan yang mencekam benar-benar menyelimuti seluruh rakyat Mesir, polisi intel segera memenjarakan adik kandung Hasan Al Banna, Abdul Basith yang merupakan anggota polisi, padahal adiknya ini bukan anggota Al-Ikhwan. Hal itu dilakukan untuk mempermudah penangkapan terhadap Hasan Al-Banna kapan mereka menginginkannya. Sebenarnya Hasan Al-Banna telah mencium makar terhadap dirinya. Namun justru keberanian dan perasaan tidak takut mati semakin lebih nampak lagi, terutama setelah di suatu malam ia mimpi bertemu dengan Sayyidina Umar bin Khattab yang berkata padanya: “Wahai Hasan, kau akan dibunuh!”. Ketika Hasan Al-Banna mengajukan untuk tinggal di luar kota Kairo bersama saudaranyapun tidak diizinkan, hal itu semakin memperjelas makar yang dirancang oleh rezim untuk meringkusnya secara perlahan.

3. Setelah seluruh persenjataan ikhwan, dan kekayaannya termasuk pistol dan mobil pribadi Hasan Al-Banna yang statusnya pinjaman itu disita oleh penguasa yang serakah, maka tinggal episode yang terakhir. Mereka merekayasa sebuah pertemuan antara Hasan Al-Banna dengan Mohammad An Naqhi (salah satu pengurus Dar Asy-Syubban) pada hari Jum’at tanggal 11 Desember 1949 M pukul 17.00. Namun hingga pukul 20.00 masalah yang diagendakan belum ada kejelasan yaitu salah seorang menteri yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah Ikhwan, lalu pulanglah ia dengan menantunya Ustadz Mansur dengan komitmen akan datang kembali esok harinya, namun tiba-tiba ia dapati suasana yang sungguh lain, di jalan protokol “Quin Ramses” yang biasanya ramai dengan hiruk pikuk lalu lintas lalu lalang manusia saat itu tak sebuah mobil dan seorangpun yang lewat kecuali sebuah taxi yang menongkrong di depan gerbang pintu Dar Asy Syubban. Toko-toko dan rumah-rumah makan yang berdekatan juga sudah tutup. Kecurigaan semakin tinggi ketika baru akan melangkahkan kaki menuju jalan raya tiba-tiba seluruh lampu penerang jalan mati, saat itulah peluru api meluncur sebagian mengenainya dan peluru yang lain mengenai Ustadz Mansur. Namun Hasan Al-Banna masih kuat untuk naik sendiri menuju gedung Dar Asy Syubban memutar telepon untuk meminta pertolongan ambulance, meskipun demikian ia kemudian terlantar di salah satu kamar Rumah Sakit “Qosr Aini” karena tak seorangpun dari perawat atau dokter yang berani menolongnya sekalipun banyak dokter muslim yang ingin merawatnya, namun kepala RS tidak mengizinkan atas perintah kerajaan. Dering telepon tak henti-hentinya untuk meyakinkan kematian Hasan Al-Banna hingga ia menemui robbul izzah dengan kepahlawanannya.

Tepat hari Sabtu malam Minggu tanggal 12 Desember 1949 beliau pulang ke Rahmatullah. Terselimutilah di hari itu langit dunia dengan kesedihan yang mendalam karena kematiannya berarti hilangnya seorang pembela kebenaran penegak keadilan di tengah-tengah kelaliman.

Pagi harinya hari Minggu tanggal 12 Desember 1949 sampailah berita kematian kepada orang tuanya Syaikh Ahmad Al Banna. Yang lebih menyedihkan rezimpun tidak mengizinkan ummat Islam untuk merawat jenazahnya dan berta’ziyah ke rumah shohibul musibah. Untuk menunjukkan keangkuhan serta kedengkiannya terhadap Hasan Al-Banna mereka susun penjagaan militer secara ketat yang siap untuk bertempur dan tank-tank yang seakan-akan menghadapi sebuah pertempuran yang dahsyat. Tidak seorangpun diizinkan membawa jenazahnya menuju makam kecuali orang tuanya beserta kedua saudari perempuannya.

Jamaah Al-Ikhwan yang telah didirikan diatas genangan darah Hasan Al-Banna dan di ukir dengan darah para syuhada akankah ditunggu oleh ummat seluruh dunia sebagai pahlawan penegak kebenaran, pendobrak kebatilan dan pembawa bendera Khilafah Islamiyah? Jawabannya tentu tergantung kepada kualitas nilai dan pengorbanan para penerusnya.

29 tanggapan untuk “SEJARAH KEHIDUPAN HASAN AL-BANNA

  1. Dari perjalanan Dakwah beliau yang panjang, terlihat bahwa ia telah memulai Dakwah tidak seperti yang bagaimana Rasulullah memulai dakwahnya.
    Asas pokok Dakwah terlupakan/terlewatkan oleh Al Banna…

    Walau begitu tetap kita berdoa untuk keselamatan Al-banna semoga dosa2 nya diampuni oleh Nya

  2. ALHAMDULILLAH,
    Islam memiliki orang sperti Imam hasan al bana.
    Orang yang mampu membangunkan mata muslimin yang tertidur lelap dia dengan gagah mengokohkn Agama Allah dimuka bumi ini.
    Semoga dia menjadi salah seorang syuhada Allah

  3. Semoga Allah mengampuni dosa2 beliau dan menerima amal ibadahnya dlm menegakkan kalimah tauhid di bumi ini. Smg Allah mengaruniakan apa yg beliau cita2kan.. SYAHID DI JALAN ALLAH….!! Walaa takulu limayyuqtalu fisabilillahi amwat.. Bal ahya’un walaakil latasy’urun…

  4. Assalamualaikum suatu kebenaran yg hak pasti bnyk kendala…dan dimusuhi oleh ulil amry..yg pemerintahan thogut….harga mati, kebenaran harus ditegakan jgn menutup kebenaran dan melemahkan suatu aqidah….naudzubillah..

  5. Rupa dan hati seperti Hassan Al Banna berlambak dipelusuk dunia tetapi kecintaan dan kasih sayangnya kepada agama dan ummah sukar dicariganti, keberaniannya tidak mudah dicabar tetapi dengan izin Allah SWT tidak mustahil akan bangkit berpuluh bahkan beribu dan berjuta ikhwan-ikhwan yang sanggup menererukan perjuangan beliau samapi akhir dunia. Allahu Akbar……

  6. @Janusa Hardhi: Sungguh terlalu, bagaimana bisa anda berkata seperti itu setelah semua yang dilakukan Hasan Al Banna. Dan anda masih menyebut diri anda muslim???

  7. Semoga Allah melahirkan lebih ramai pahlawan sepertimu,Imam Hassan Al Banna….Ingin sekali aku mengikut jejakmu,kerana aku lahir dalam Islam….hidupku hanya untuk Islam,matiku untuk Islam… Semoga Allah merahmati dan memberkatimu…Assalamualaikum

  8. kita adilkan kisah Syaikh hasan Albanna baca…!

    Pendidikannya
    Ia mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seo-rang pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan sifat-sifat gurunya yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan kepemim-pinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut meninggalkan madrasah.
    Selanjutnya ia masuk ke Madrasah I’dadiyyah di Mahmudiyyah, setelah berjanji kepada ayahnya untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur`an-nya di rumah. Tahun ketiga di madrasah ini adalah awal perke-nalannya dengan gerakan-gerakan dakwah melalui sebuah organisasi, Jum’iyyatul Akhlaq Al-Adabiyyah, yang dibentuk oleh guru matematika di madrasah tersebut. Bahkan Al-Banna sendiri terpilih sebagai ketuanya. Aktivitasnya terus berlanjut hingga ia bergabung dengan organisasi Man’ul Muharramat.
    Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al-Mu’allimin Al-Ula di kota Damanhur. Di sinilah ia berkenalan dengan tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Ia terkagum-kagum dengan majelis-majelis dzikir dan lantunan nasyid yang didendangkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut. Lebih tercengang lagi ketika ia dapati bahwa di antara pengikut tarekat tersebut ada guru lamanya yang ia kagumi, Asy-Syaikh Zahran. Akhirnya Al-Banna bergabung dengan tarekat tersebut. Sehingga ia pun aktif dan rutin mengamalkan dzikir-dzikir Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari. Tak ketinggalan, acara maulud Nabipun rutin ia ikuti: “…Dan kami pergi bersama-sama di setiap malam ke masjid Sayyidah Zainab, lalu melakukan shalat ‘Isya di sana. Kemudian kami keluar dari masjid dan membuat barisan-barisan. Pimpinan umum Al-Ustadz Hasan Al-Banna maju dan melantunkan sebuah nasyid dari nasyid-nasyid maulud Nabi, dan kamipun mengikutinya secara bersamaan dengan suara yang nyaring, membuat orang melihat kami,” ujar Mahmud Abdul Halim dalam bukunya. (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/109)
    Di antara aktivitas selama bergabung dengan tarekat ini ialah pergi bersama teman-teman se-tarekat ke kuburan, untuk meng-ingatkan mereka tentang kematian dan hisab (perhitungan amal). Mereka duduk di depan kuburan yang masih terbuka, bahkan salah seorang mereka terkadang masuk ke liang kubur tersebut dan berbaring di dalamnya agar lebih menghayati hakekat kematian nanti.
    Al-Banna terus bergabung dengan tarekat tersebut sampai pada akhirnya ia berbai’at kepada syaikh tarekat saat itu yaitu Asy-Syaikh Basyuni Al-’Abd. Jabir Rizq mengatakan: “…(Hasan Al-Banna) sangat berkeinginan mengambil ajaran tarekat itu, sampai-sampai ia meningkat dari sekedar simpatisan ke pengikut yang berbai’at. ” Sepeninggal Basyuni, Al-Banna berbai’at kepada Asy-Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashafi, pengganti pendiri tarekat tersebut. Ia diberi ijazah wirid-wirid tarekat tersebut. Dengan bangga Al-Banna mengungkapkan: “Dan saya berteman dengan saudara-saudara dari tarekat Al-Hashafiyyah di Damanhur. Saya rutin mengikuti acara al-hadhrah di Masjid Taubah setiap malam… Sayyid Abdul Wahhab-pun datang, dialah yang memberikan ijazah di kelompok tarekat Hashafiyyah Syadziliyyah, dan saya menda-pat ajaran tarekat ini darinya. Ia juga mem-beri saya wirid dan amalan tarekat itu. ”
    Karena faktor tertentu, akhirnya kelompok tarekat ini mendirikan sebuah organisasi, bernama Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah yang diketuai oleh teman lamanya, Ahmad As-Sukkari. Sementara Hasan Al-Banna menjadi sekretarisnya. Al-Banna mengatakan: “Di saat-saat ini, nampak pada kami untuk mendirikan organisasi perbaikan yaitu Al-Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah, dan aku terpilih sebagai sekretarisnya… Lalu dalam perjuangan ini, aku menggantikannya dengan organisasi Ikhwanul Muslimin setelah itu. ”
    Al-Banna menghabiskan waktunya di madrasah Al-Mu’allimin dari tahun 1920-1923 M. Di sela-sela masa itu, ia juga banyak membaca majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha, salah seorang tokoh gerakan Ishlahiyyah yang banyak dipengaruhi pemikiran Mu’ta-zilah. Di sisi lain, iapun suka mendatangi Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib di perpustakaan salafinya.
    Al-Banna, ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, sempat bimbang antara melanjutkan atau menekuni dakwah dan amal. Ini dikarenakan interaksinya dengan buku Ihya‘ Ulumuddin. Namun bermodalkan nasehat dari salah seorang gurunya, ia mantap untuk melanjutkan pendidikan.
    Ia akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum. Di sini, ia sangat giat membentuk jamaah-jamaah dakwah, sehingga di tengah-tengah aktivitasnya tercetus dalam benaknya, ide untuk menjalin hubungan dengan orang-orang yang duduk di warung-warung kopi dan di desa-desa terpencil untuk mendakwahi mereka. Pada akhirnya Al-Banna lulus dari Darul Ulum pada tahun 1927 M.
    Usai pendidikannya di Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di daerah Al-Isma’iliyyah. Iapun mengajar di sekolah dasar selama 19 tahun. Sebelumnya, ia datang ke daerah itu pada tanggal 19 September 1927 dan tinggal di sana selama 40 hari untuk mempelajari seluk-beluk lingkungan tersebut. Ternyata, ia dapati banyak terjadi perselisihan di antara masyarakat, sementara ia berkehendak agar dapat berkomunikasi, bergaul dengan semua pihak, dan mempersatukannya. Usai berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk menjauh dari semua kelompok yang ada dan berkonsentrasi mendakwahi mereka yang berada di warung-warung kopi. Lambat laun dakwahnya-pun tersebar dan semakin bertambah jumlah pengikutnya.

    Pembentukan Gerakan Ikhwanul Muslimin
    Pada bulan Dzulqa’dah 1347 H yang bertepatan dengan Maret 1928, enam orang dari pengikutnya mendatangi rumahnya, membai’atnya demi beramal untuk Islam dan sama-sama bersumpah untuk menjadikan hidup mereka untuk dakwah dan jihad. Dengan itu muncullah tunas pertama gerakan Ikhwanul Muslimin. Selang empat tahun, dakwahnya meluas, sehingga ia pindah ke ibukota Kairo, bersama markas besar Ikhwanul Muslimin. Dengan bergulirnya waktu, jangkauan dakwah semakin lebar. Kini saatnya bagi Al-Banna untuk mengajak anggotanya melakukan jihad amali. Dengan situasi yang ada saat itu, ia membentuk pasukan khusus untuk melindungi jamaahnya. Pada tahun 1942 M, Hasan Al-Banna menetapkan untuk mencalonkan dirinya dalam pemilihan umum, tapi ia mencabutnya setelah maju, karena ada ancaman dari Musthafa Al-Basya, yang waktu itu menjabat sebagai pimpinan Al-Wizarah (Perdana Menteri, ed. ). Dua tahun kemudian, ia mencalonkan diri kembali, namun Inggris memanipulasi hasil pemilihan umum. Wafatnya
    Pada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untuk hadir di kantor pusat organisasi Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan. Bersamaan dengan itu peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi dengan ambulans. Namun karena pendarahan yang hebat, ajal menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.
    Demikian sejarah ringkas Hasan Al-Banna bersama gerakan dakwah yang ia dirikan. Pembaca mungkin berbeda-beda dalam menanggapi sejarah tersebut, sesuai dengan sudut pandang yang digunakan. Namun bila kita melihatnya dengan kacamata syar’i, menimbangnya dengan timbangan Ahlus Sunnah, maka kita akan mendapatinya sebagai sejarah yang suram. Mengapa? Karena kita melihat, ternyata gerakan tersebut lahir dari sebuah sosok yang berlatar belakang aliran shufi Hashafi dengan berbagai kegiatan bid’ahnya, seperti bai’at kepada syaikh tarekat dan kepada Al-Banna sendiri sebagai pimpinan gerakan, amalan wirid-wirid Ruzuqiyyah yang diada-adakan, dzikir berjamaah, maulud Nabi, ziarah-ziarah kubur dengan cara bid’ah sampai pada praktek politik praktis di atas asas demokrasi. Gurunyapun campur aduk, dari syaikh tarekat, seorang yang terpengaruh madzhab Mu’tazilah, dan seorang yang berakidah salafi.
    Warna-warni sosok pendiri tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan corak gerakan tersebut, sehingga warnanyapun tidak jelas, buram. Tidak seperti Ash-Shirathul Mustaqim yang Nabi n katakan:

    تَرَكْتُكُمْ عَلىَ مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا

    “Aku tinggalkan kalian di atas yang putih bersih, malamnya seperti siangnya. ” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Hakim, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah no. 33)
    Untuk melihat lebih dekat dan jelas buktinya mari kita simak pembahasan berikutnya.

    Pandangan Umum terhadap Gerakan Ikhwanul Muslimin
    Sekilas, dari sejarah singkat Hasan Al-Banna tampak jati diri gerakan yang didirikannya. Namun itu tidak cukup untuk mengungkap lebih gamblang. Untuk itu perlu kami nukilkan di sini beberapa kesimpulan yang didasari oleh komentar Al-Banna sendiri atau tokoh-tokoh gerakan ini atau simpatisannya.
    Pertama: Menggabung Kelompok-kelompok Bid’ah
    Tentu pembaca tahu, bahwa bid’ah tercela secara mutlak dalam agama:

    كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

    “Semua bid’ah itu sesat. ” (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)
    Kata-kata ini senantiasa Nabi n ucapkan dalam pembukaan khutbahnya. Bahkan Nabi n juga katakan:

    لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثاً

    “Allah melaknati orang yang melindungi bid’ah. ” (HR. Muslim, Kitabul Adhahi, Bab Tahrim Adz-Dzabh Lighairillah, no. 5096)
    Yakni ridha terhadapnya dan tidak mengingkarinya. Dan banyak lagi hadits yang lain. Tapi anehnya, Al-Banna justru menaungi kelompok-kelompok bid’ah sebagaimana dia sendiri ungkapkan: “Sesungguhnya dakwah Ikhwanul Muslimin adalah dakwah salafiyyah… tarekat sunniyah… hakekat shufiyyah…dan badan politik…” (Majmu’ah Rasa`il, hal. 122)
    Ini menggambarkan usaha untuk mencampur antara al-haq dan al-bathil. Dan ini adalah cara yang batil. Jika memang dakwahnya adalah salafiyyah yang sesungguhnya –dan itulah kebenaran– tidak mungkin dipadukan dengan shufiyyah dengan berbagai bid’ahnya dan praktek politik praktis yang diimpor dari Barat.
    Karena prinsip ini, maka realita membuktikan bahwa: “Ratusan ribu manusia telah bergabung dengan kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka dari kelompok yang bermacam-macam, paham yang berbeda-beda. Di antara mereka ada sekelompok Shufi yang menyangka bahwa kelompok ini adalah Shufi gaya baru…,” demikian ungkap Muhammad Quthub dalam bukunya Waqi’una Al-Mu’ashir (hal. 405).
    Bahkan dengan kelompok Syi’ah-pun berpelukan. Itu terbukti dengan usaha Al-Banna untuk menyatukan antara Sunnah dengan Syi’ah, dan tak sedikit anggota gerakan yang beraliran Syi’ah. Umar At-Tilmisani, murid Al-Banna sekaligus pimpinan umum ketiga gerakan ini, mengungkapkan: “Pada tahun empat-puluhan seingat saya, As-Sayyid Al-Qummi, dan ia berpaham Syi’ah, singgah sebagai tamu Ikhwanul Muslimin di markas besarnya. Dan saat itu Al-Imam Asy-Syahid (Al-Banna) berusaha dengan serius untuk mendekatkan antar berbagai paham, sehing-ga musuh tidak menjadikan perpecahan paham sebagai celah, yang dari situ mereka robek-robek persatuan muslimin. Dan kami suatu hari bertanya kepadanya, sejauh mana perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan Syi’ah, maka ia pun melarang untuk masuk dalam permasalahan semacam ini… Kemudian mengatakan: ‘Ketahuilah bahwa Sunnah dan Syi’ah adalah muslimin, kalimat La ilaha illallah Muhammad Rasulullah menyatukan mereka, dan inilah pokok aqidah. Sunnah dan Syi’ah dalam hal itu sama dan sama-sama bersih. Adapun perbedaan antara keduanya adalah pada perkara-perkara yang mungkin bisa didekatkan. ” (Dzikrayat la Mudzakkirat, karya At-Tilmisani, hal. 249-250)
    Benarkah dua kelompok itu sama dan bersih dalam dua kalimat syahadat? Tidakkah Al-Banna tahu, bahwa di antara kelompok Syi’ah ada yang menuhankan ‘Ali bin Abi Thalib? Tidakkah dia tahu bahwa Syi’ah menuhankan imam-imam mereka, dengan menganggap mereka mengetahui perkara-perkara ghaib? Tidakkah dia tahu bahwa di antara Syi’ah ada yang meyakini bahwa Malaikat Jibril keliru menyampaikan risalah –mestinya kepada Ali, bukan kepada Nabi n–? Seandainya hanya ini saja (penyimpangan) yang dimiliki Syi’ah, mungkinkah didekatkan antara keduanya? Lebih-lebih dengan segudang kekafiran dan bid’ah Syi’ah.
    Kedua: Lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`
    Pembaca, tentu anda tahu bahwa Al-Wala` (loyalitas kepada kebenaran) dan Al-Bara` (antipati terhadap kebatilan) merupakan prinsip penting dalam agama kita, Islam.
    Abu ‘Utsman Ash-Shabuni (wafat 449 H) mengatakan: “Dengan itu, (Ahlus Sunnah) seluruhnya bersepakat untuk merendahkan dan menghinakan ahli bid’ah, dan menjauhkan serta menjauhi mereka, dan tidak berteman dan bergaul dengan mereka, serta mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi mereka. ” (‘Aqidatussalaf Ashabil Hadits, hal. 123, no. 175)
    Tapi prinsip ini menjadi luntur dan benar-benar luntur dalam manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Itu terbukti dari penjelasan di atas. Juga sambutan hangatnya terhadap pimpinan aliran Al-Marghiniyyah, sebuah aliran wihdatul wujud yang menganggap Allah menjadi satu dengan makhluk (lihat Qafilatul Ikhwan Al-Muslimin, 1/259, karya As-Sisi). Lebih dari itu –dan anda boleh kaget– Al-Banna mengatakan: “Maka saya tetapkan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukan permusuhan karena agama. Karena Al-Qur`an menganjurkan untuk bersahabat dengan mereka. Dan Islam adalah syariat kemanusiaan sebelum syariat kesukuan. Allah-pun telah memuji mereka dan menjadikan kesepakatan antara kita dengan mereka… dan ketika Allah ingin menyinggung masalah Yahudi, Allah menyinggung mereka dari sisi ekonomi, firman-Nya…. ” (Al-Ikhwanul Al-Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/409 dinukil dari Al-Maurid, hal. 163-164)
    Apa yang pantas kita katakan wahai pembaca? Barangkali tepat kita katakan di sini:

    أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ

    “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?” (Al-Baqarah: 85)
    Ke mana hafalan Al-Qur`an-nya? Siapapun yang membaca pasti tahu bahwa Allah telah mengkafirkan Yahudi, mereka membunuh para nabi, mencela Allah, tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad n, dan beberapa kali berusaha membunuh Nabi n. Apakah ini semua tidak pantas menimbulkan permusuhan antara muslimin dengan Yahudi dalam pandangannya?
    Bukti lain tentang lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`, bahwa sebagian penasehatnya adalah Nashrani. Menurut pengakuan Yusuf Al-Qardhawi, katanya: “Saya tumbuh di sebuah lingkungan yang berkorban untuk Islam. Madrasah ini, yang memimpinnya adalah seorang yang mempunyai ciri khas keseimbangan dalam pemikiran, gerakan, dan hubungannya. Itulah dia Hasan Al-Banna. Orang ini sendiri adalah umat dari sisi ini, di mana dia bisa bergaul dengan semua manusia, sampai-sampai sebagian penasehatnya adalah orang-orang Qibthi –yakni suku bangsa di Mesir yang beragama Nashrani– dan ia masukkan mereka ke dalam departemen politiknya…” (Al-Islam wal Gharb, ma’a Yusuf Al-Qardhawi, hal. 72, dinukil dari Dhalalat Al-Qardhawi, hal. 4)
    Padahal Allah k berfirman:

    يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. ” (Ali ‘Imran: 118)
    Ketiga: Tidak Perhatian terhadap Aqidah
    Pembaca, aqidah adalah hidup matinya seorang muslim. Bagi muslim sejati, yang berharga menjadi murah demi membela aqidah. Aqidah adalah segala-galanya, tidak bisa main-main, tidak bisa coba-coba. Tapi tidak demikian adanya dengan kelompok yang kita bicarakan ini. Itu terbukti dari keterangan di atas, ditambah keadaan Al-Banna sendiri yang tidak beraqidah salaf dalam mengimani Asma`ul Husna dan sifat-sifat Allah. Salah jalan, ia terangkan aqidah salaf tapi ternyata itu aqidah khalaf (yang datang belakangan dan menyelisihi salaf). Ungkapnya: “Adapun Salaf, mereka mengatakan: Kami beriman dengan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagaimana datangnya, dan kami serahkan keterangan tentang maksudnya kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sehingga mereka menetapkan sifat Al-Yad (tangan) dan Al-’Ain (mata)… Semua itu dengan makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya…” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 292, 324)
    Tauhid Al-Asma` dan Sifat, adalah salah satu dari tiga unsur penting dalam ilmu-ilmu tentang Allah k. Intinya adalah mengimani nama-nama Allah k dan sifat-sifat-Nya sebagaimana Allah k sebutkan dalam Al-Qur`an atau Nabi n sebutkan dalam hadits yang shahih.
    Aqidah Ahlussunnah dalam hal ini tergambar dalam jawaban Imam kota Madinah saat itu, Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbuhi t, ketika ditanya oleh seseorang: “Allah naik di atas ‘Arsy-Nya, bagaimana di atas itu?” Dengan bercucuran keringat karena kaget, beliau menjawab: “Naik di atas itu diketahui maknanya. Caranya tidak diketahui. Iman dengannya adalah wajib. Dan bertanya tentang itu adalah bid’ah!”
    Ucapan Al-Imam Malik ini minimalnya mengandung empat hal:
    1. Naik di atas itu diketahui maknanya: Demikian pula nama, sifat dan perbuatan Allah yang lain seperti, murka, cinta, melihat, dan sebagainya. Semuanya diketahui maknanya, dan semua itu dengan bahasa Arab yang bisa dimengerti.
    2. Tapi caranya tidak diketahui: yakni kaifiyyah, cara dan seperti apa tidaklah diketahui, karena Allah k tidak memberi-tahukan perincian tentang hal ini. Demikian pula sifat-sifat yang lain.
    3. Iman dengannya adalah wajib: karena Allah memberitakannya dalam Al-Qur`an dan Nabi n mengabarkan dalam haditsnya yang shahih.
    4. Dan bertanya tentang itu adalah bid’ah: yakni bertanya tentang tata caranya dan seperti apa sifat-sifat tersebut adalah bid’ah, tidak pernah dilakukan oleh generasi awal. Mereka beriman apa adanya, karena Allah k tidak pernah memberitakan perincian tata caranya. Berbeda dengan ahli bid’ah yang melakukan takyif yakni mereka-reka kaifiyyah sifat tersebut, atau bertanya untuk mencari tahu dengan pertanyaan: Bagaimana?
    Dengan penjelasan di atas, maka ucapan Hasan Al-Banna: …”Semua itu dengan makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya”, adalah ucapan yang menyelisihi kebenaran. Dan ini tentu bukan manhaj salaf. Bahkan ini adalah manhaj Ahluttafwidh atau Al-Mufawwidhah, yang menganggap ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah itu bagaikan huruf muqaththa’ah, yakni huruf-huruf di awal surat seperti alif lam mim, yang tidak diketahui maknanya.
    Madzhab ini sangat berbahaya, yang konsekuensinya adalah menganggap Nabi n dan para shahabatnya bodoh, karena mereka tidak mengetahui makna ayat-ayat itu. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyyah t mengatakan bahwa: “Al-Mufawwidhah termasuk sejahat-jahat ahli bid’ah. ” (lihat Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql karya Ibnu Taimiyyah, 1/201-205, dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 71)
    Bukti lain, ia hadir di salah satu sarang kesyirikan terbesar di Mesir yaitu kuburan Sayyidah Zainab, lalu memberikan wejangan di sana, tetapi sama sekali tidak menyinggung kesyirikan-kesyirikan di sekitar kuburan itu (lihat buku Qafilatul Ikhwan, 1/192). Jika anda heran, maka akan lebih heran lagi ketika dia mengatakan: “Dan berdoa apabila diiringi dengan tawassul kepada Allah k dengan perantara seseorang dari makhluk-Nya, adalah perbedaan pendapat yang sifatnya furu’ (cabang) dalam hal tata cara berdoa dan bukan termasuk perkara aqidah. ” (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)
    Pembaca, jika anda mengikuti kajian-kajian majalah kesayangan ini, pada dua edisi sebelumnya dalam Rubrik Aqidah akan anda dapati pembahasan tentang tawassul. Tawassul (menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk menyampaikan doa kepada Allah) telah dibahas panjang lebar oleh ulama dan sangat erat kaitannya dengan aqidah. Di antara tawassul itu ada yang sampai kepada derajat syirik akbar, adapula yang bid’ah. Dari sisi ini, bisa pembaca bandingkan antara nilai aqidah menurut para ulama dan menurut Hasan Al-Banna.
    Keempat: Menganggap Sepele Bid’ah dalam Agama
    Sekilas telah anda ketahui tentang bahaya bid’ah yang Nabi n katakan:

    شَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا

    “Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan. ” (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)
    Oleh karenanya, Nabi n berpesan:

    وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ .

    “Dan jauhi oleh kalian perkara-perkara baru (yakni dalam agama) karena semua bid’ah itu sesat, dan semua kesesatan di neraka. ” (Shahih, HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
    Namun berbeda keadaannya dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, sebagaimana anda baca dalam sejarah ringkas Al-Banna. Berbagai macam bid’ah ia kumpulkan, kelompok-kelompok bid’ah ia rangkul, acara bid’ah ia datangi seperti maulud Nabi dan dzikir bersama dengan satu suara, bahkan sebagian bacaannya mengandung aqidah wihdatul wujud. Tentu itu bukan secara kebetulan, terbukti dengan penegasannya: “Dan bid’ah idhafiyyah, tarkiyyah, dan iltizam pada ibadah-ibadah yang bersifat mutlak adalah perbedaan fiqih, yang masing-masing punya pendapat dalam masalah itu…” (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)
    Ia hanya anggap bid’ah-bid’ah itu layaknya perbedaan fiqih biasa. Coba bandingkan dengan wasiat Nabi n di atas. Oleh karenanya, muncul kaidah mereka yang sangat populer: “Kita saling membantu pada perkara yang kita sepakati, dan saling mamaklumi pada apa yang kita perselisihkan. ” Pada prakteknya, mereka saling memaklumi dengan Syi’ah, Shufi yang ekstrim, bahkan Yahudi dan Nashrani, apalagi ahli bid’ah yang belum sederajat dengan mereka.
    Sedikit penjelasan terhadap ucapan Al-Banna, bid’ah idhafiyyah adalah sebuah amalan yang pada asalnya disyariatkan, tapi dalam pelaksanaannya ditambah-tambah dengan sesuatu yang bid’ah. Termasuk di dalamnya yaitu sebuah ibadah yang mutlak, artinya tidak terkait dengan waktu, jumlah, tata cara, atau tempat tertentu. Tetapi dalam pelaksanaannya, seseorang mengaitkan dengan tata cara tertentu dan iltizam (terus-menerus) dengannya. Contoh dzikir dengan ucapan La ilaha Illallah, dalam sebuah hadits dianjurkan secara mutlak, tapi ada orang yang membatasi dengan jumlah tertentu (500 kali, misalnya) dan beriltizam dengannya.
    Bid’ah tarkiyyah, adalah mening-galkan sesuatu yang Allah halalkan atau mubahkan dengan niat ber-taqarrub, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah dengan itu. Contohnya adalah orang yang tidak mau menikah dengan tujuan semacam itu, seperti yang dilakukan pendeta Nashrani dan sebagian muslimin yang mencontoh mereka. (lihat Mukhtashar Al-I’tsham, hal. 11 dan 72)
    Kelima: Bai’at Bid’ah
    Bai’at adalah sebuah ibadah. Layaknya ibadah yang lain, tidak bisa dibenarkan kecuali dengan dua syarat: ikhlas dan sesuai dengan ajaran Nabi n. Dalam sejarah Nabi dan para shahabatnya, bahkan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka, mereka tidak pernah memberikan bai’at kepada selain khalifah, imam, atau penguasa muslim. Maka, sebagaimana dikatakan Sa’id bin Jubair –seorang tabi’in–: “Sesuatu yang tidak diketahui oleh para Ahli Badr (shahabat yang ikut Perang Badr), maka hal itu bukan bagian dari agama. ” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165). Al-Imam Malik mengatakan: “Sesuatu yang di masa shahabat bukan sebagai agama, maka hari ini juga bukan sebagai agama. ” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165)
    Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya tentang bai’at, beliau menjawab: “Bai’at tidak diberikan kecuali kepada waliyyul amr (penguasa) kaum muslimin. Adapun bai’at-bai’at yang ada ini adalah bid’ah, dan merupakan akibat dari adanya ikhtilaf (perselisihan). Yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yang berada di satu negara atau satu kerajaan, hendaknya bai’at mereka hanya satu dan untuk satu pimpinan…” (Fiqh As-Siyasah As-Syar’iyyah hal. 281 dan lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 214). Lebih rinci tentang hukum bai’at, silakan anda buka-buka kembali Asy-Syariah edisi-edisi sebelumnya.
    Sementara, Hasan Al-Banna sendiri berbai’at kepada syaikh tarekat shufi. Dan ketika mendirikan gerakan ini, ia dibai’at oleh enam tunas gerakan ini, bahkan Al-Banna menjadikan bai’at sebagai unsur penting manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Dia katakan: “Wahai saudara-saudara yang jujur, rukun bai’at kita ada sepuluh, hafalkanlah: 1. Paham, 2. Ikhlas, 3. Amal, 4. Jihad, 5. Pengorbanan, 6. Taat, 7. Kokoh, 8. Konsentrasi, 9. Persaudaraan, 10. Percaya. ” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 268)
    Untuk mengkaji kritis secara tuntas point-point itu tentu butuh berlembar-lembar kertas. Namun cukup untuk mengetahui batilnya, bahwa rukun-rukun bai’at ini berdiri di atas asas bai’at yang salah. Sebagai tambahan, tahukah anda apa yang dimaksud ketaatan pada point keenam? Silahkan anda simak penuturan Al-Banna: “…Dan pada periode kedua yaitu periode takwin (menyusun kekuatan), aturan dakwah dalam periode ini adalah keshufian yang murni dari sisi rohani dan militer murni dari sisi amal. Dan selalu, motto dua sisi ini adalah ‘komando’ dan ‘taat’ tanpa ragu, bimbang, bertanya, segan. ” (Risalah Ta’lim, karya Al-Banna, hal. 274)
    Yakni taat komando secara mutlak, bagaikan mayat di hadapan yang memandikan. Sedangkan Nabi n saja, dalam bai’at yang sah mensyaratkan ketaatan dengan dua syarat:
    1. Pada perkara yang sesuai syariat.
    2. Sebatas kemampuan.
    (lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 217)
    Tahukah pula anda, apa yang dimaksud dengan paham pada point pertama? Mari kita simak penuturan sang imam ini: “Hanyalah yang saya maukan dengan ‘paham’ ini, adalah engkau harus yakin bahwa pemikiran kami adalah Islami dan benar, dan agar engkau memahami Islam sebagaimana kami memahaminya dalam batas 20 prinsip yang kami ringkas seringkas-ringkasnya. ” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 356)
    Pembaca, haruskah seseorang berbai’at untuk membenarkan pemikiran Al-Banna yang sedemikian rupa, seperti anda baca? Haruskah kita memahami Islam seperti dia pahami, hanya berkutat pada 20 prinsip yang ia buat, itu pun bila prinsip-prinsip itu benar?
    Anehnya juga, ketika menyebutkan 38 kewajiban muslim berkaitan dengan bai’at tersebut, salah satunya adalah: “Jangan berlebih-lebihan minum kopi, teh dan minuman-minuman sejenis yang membuat susah tidur. ” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 277, dinukil dari Haqiqatud Da’wah, karya Al-Hushayyin, hal. 80), namun dia tidak menyinggung masalah pembenahan aqidah.
    Pembaca yang saya muliakan, dari penjelasan di atas tentu anda merasakan, bagaimana sosok Hasan Al-Banna begitu mewarnai corak gerakan yang ia dirikan. Sekaligus anda dapat mengetahui betapa jauhnya gerakan ini dari Ash-Shirathul Mustaqim, jalan yang digariskan Nabi n dan kita diperintahkan menelusurinya serta berhati-hati dari selainnya. Lebih-lebih, gerakan ini juga, tidak kurang-kurangnya memuji musuh-musuh Allah seperti, Al-Khomeini, dan tokoh-tokoh Syi’ah yang lain, Al-Marghini tokoh wihdatul wujud, memusuhi Muwahhidin, melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada aparatur negara yang dianggap merugikan dengan cara yang tidak syar’i, berdemo, melakukan kudeta tanpa melalui prosedur syar’i, nasyid ala shufi dan sandiwara. Dan betapa pengikutnya berlebihan dalam menyanjung Al-Banna sampai menjulukinya Asy-Syahid (yang mati syahid), dan dengan yakin salah satu di antara mereka mengatakan: “Bahwa ia (yakni Hasan Al-Banna) hidup di sisi Rabbnya dan mendapat rizki di sana. ” (lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 206, 165, 208, 226, 229, 117, 228)
    Padahal, Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dalam bukunya Shahih Al-Bukhari berjudul: “Tidak boleh dikatakan bahwa fulan adalah syahid”, lalu beliau sebutkan dalilnya. Beliau juga menyebutkan hadits dalam bab lain: “…Bahwa Ummul ‘Ala berkata: ‘Utsman bin Mazh’un dapat bagian di rumah kami (setelah diundi), maka ketika ia sakit kami mera-watnya. Tatkala wafat, aku katakan: ‘Persaksianku atas dirimu wahai Abu Sa`ib (‘Utsman bin Mazh’un) bahwa Allah telah memuliakanmu’. Maka Nabi n mengatakan: ‘Darimana engkau tahu bahwa Allah telah memuliakannya?’ Saya katakan: ‘Ayah dan ibuku tebusanmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, saya tidak tahu. ’ Maka Nabi n mengatakan: ‘Sesungguhnya aku, demi Allah, dan aku ini adalah utusan Allah, aku tidak tahu apa yang akan Allah perlakukan kepadaku dan kepada kalian’. ” (Shahih, HR. Al-Bukhari)

  9. Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yang masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yang cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adalah Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang lebih dikenal dengan As-Sa’ati.

  10. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

  11. mungkin maksud hasan al-banna ingn menyatukan umat. bagaimana kita bisa melawan penjajah jika kita terpecah-pecah. niat hasan al-banna juga bukan untuk kpntingan pribadi tapi kpntingan umat. knapa maulid nabi di bilang bid’ah??

  12. saya…heran lah…..sama orang yang beraqidah salaf………..sedikit2…berdalihkan salaf……emangnya….akidah yang benar tuh akidah salaf…anda yang memiliki pendapat seperti itu lebih banyak beristighfar lah….akidah yang benar tuh akidah alquran dan hadisr….kan gak ada rasul bilang….73 dan 1 golongan yang hanya masuk surga yang lainnya mask neraka adalah salafi…tapi yang masuk surga tuh org yang memegang teguh alquran dan sunnah….

  13. Para pembaca blog ini…
    Jangan termakan oleh adillah !!! Dia ini orang yang berfaham whhabiy laknat..
    Yang suka mengkafirkan orang muslim yang lain…
    Selalu membahas tentang bid’ah2
    Padahal dia sendiri gak merasa kalau dirinya adalah tukang bid’ah…
    O ya.. Wahhabiy itu juga menghalalkan darah yang selain golongannya ..
    Kalo berani ayo debat secara terbula..
    Tunjukkan semua dalil2 anda..
    Aku tunggu

  14. Padahal musuh islam sudah sangat banyak…
    Sangat bodoh sekali jika kita bisa dengan mudah diadu domba oleh pihak2 orang kafir melalui gerakan wahhabiy yang sering mendengung-dengungkan bid’ah…
    Padahal kalo kita banyak membaca kitab2 hadits banyak juga sahabat yang melakukan bid’ah… Tapi bid’ahnya bid’ah hasanah… Pokoknya umat muslim apalagi mahasiswa indonesia harus pintar dan arif dalam menyaring berita2 yang ada…
    Contoh nyata udah ada didepan kita yaitu “adillah” ini… Segera bertobatlah kawan sebelum menyesal di akhirat kelak…
    Cari juga referensi2 tentang wahhabiy dan israel… Dan tak kalah pentingnya juga tentang sunniy dan ulama2nya.
    Pendiri gerakan wahhabiy ini tak lain adalah muhammad bin abdul wahhab annajdiy yang disokong oleh israel…
    Sudah banyak bukti yang menunjukkan kejahatan wahhabiy hingga pembunuhan ulama2 sunni di mekkah dan penghancuran situs2 bersejarah ummat muslim yang dihancurkan oleh wahhabiy laknat ini..

  15. assalamu’alaikum
    bagi yang mengaku pengikut rasulullah muhammad shalallahu alahi wa salam mohon untuk direnungkan ayat ini ( S. Al Fath ayat 29 )
    Sifat-sifat Nabi Muhammad saw. dan sahabat-sahabatnya di dalam Taurat dan Injil
    ” Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”

    apakah kita sudah termasuk orang yang mempunyai sifat seperti dalam kandungan ayat diatas? mari kita saling interopeksi.

Tinggalkan komentar